11-26-2020, 12:47 PM
Dalam kitab Keluaran, kita melihat bahwa tak kurang²nya Allah menyatakan dirinya kepada bangsa Israel dalam kemuliaannya:
tiang awan, tiang api, laut terbelah, burung puyuh, manna, bahkan suara mengguntur di atas Gunung Horeb.
Namun mengapakah bangsa Israel tegar tengkuk?
Hal menarik yang dapat kita saksikan adalah, pemberontakan bangsa Israel di padang gurun kepada Allah terjadi sebelum kitab Imamat ini ada.
Pemberontakan demi pemberontakan terjadi berulang kali. Misalkan saja membuat patung lembu emas, pemberontakan kaum Korah, dll.
Apakah ada kaitan antara penulisan kitab Imamat dan surutnya pemberontakan bani Israel?
Kitab Imamat (Ibrani: Wayiqqra, berarti: "Dia (YHWH) memanggil"). Dari sini judul kitab dan tema kitab ini adalah "Bagaimana Allah memanggil Israel sebagai umat dan anaknya."
Jadi adalah sebuah kesalahan memandang bahwa Imamat adalah kumpulan peraturan dan undang-undang yang menyangkut ritual dan keagamaan agama Yahudi.
Ketika dalam kitab Imamat, disaksikan bagaimana umat Allah harus membuat ini dan itu, serta melakukan ritual ini dan itu, sesuai tema kitab ini adalah "Dia (YHWH) memanggil," maka kita tidak dapat melandaskan kitab ini dalam artian hukum secara tertulis tanpa melihat tema dan latar belakangnya.
Dalam kitab Imamat ini kita harus melihat bagaimana orang Israel harus hidup dan berbuat sebagaimana yang Allah kehendaki, dengan demikian sebagai bangsa yang dikuduskan (dipisahkan), maka orang Israel tidak boleh hidup seperti kelakuan bangsa² lain yang tak kenal siapa Allah.
Dan dari sini, umat Allah ini benar² berbeda dengan bangsa² yang hidup dalam dosa. Sehingga mereka dapat menjadi pelita bagi bangsa² lain.
Sesuai janji Allah kepada Abraham, leluhurnya, bahwa: "Dan melalui keturunanmulah semua kaum di muka bumi akan terberkati."
Dalam kitab Imamat kita melihat bagaimana terdapat kemah suci, tabernakel, kaki dian, lampu minyak, mezbah ukupan dan mezbah korban bakaran, yang Allah sendiri perintahkan kepada mereka untuk dibuat. Dan setelah semua itu dibuat, maka kuasa ilahi menanungi kemah suci dan Allah berdiam (bersemayam atau ber-tabernakel) di sana.
Setelah Allah bersemayam dalam kemah suci, pemberontakan umat Israel berangsur-angsur surut. Walaupun bukan berarti tidak ada pemberontakan.
Kemah suci adalah bentuk Allah yang imanen kepada bangsa Israel. Atau dikatakan "Allah tampak" dalam hidup mereka sehari-hari, bukan Allah yang jauh dan menakutkan bagi mereka.
Walaupun Allah bertabernakel dalam kemah suci, bukan berarti kemah suci itu adalah Allah, sebab Allah tak dapat dibatasi oleh bangunan apapun buatan manusia.
Yang bersemayam di sana adalah Memra (Devar) Elohim. Sekalipun ada di tengah-tengah mereka, namun kekuasaan Allah tetap tak terpikirkan, tak terbayangkan dan tak terukur, maka di kemah suci ini, Allah menyatakan diri secara "paradoks" bahwa:
"Ia ada di sini, namun tak tersentuh, Ia jauh di sorga, namun pada saat yang sama ia ada di antara kita."
Di sini imanensi Allah nampak, tetapi transendensi dan kesucian Allah tetap terjaga.
Allah yang menyatakan diri kepada bangsa Israel dengan "perantara" Memra-Nya.
Jadi sejak awal, manusia merindukan Allah yang "imanen" (bersemayam) di antara manusia. Inilah kerinduan manusia yang diciptakan dalam fitrah Allah:
ingin selalu dekat dan berada bersama penciptanya.
Sekalipun Allah dalam kemahakuasaannya Ia "menakutkan" dan "mengerikan" namun di saat yang sama Ia adalah Allah yang "dekat" dan "lembut penuh kasih."
"Kemuliaan bagi Allah di tempat tinggi, damai di atas bumi kepada manusia yang berkenan. Amin."
tiang awan, tiang api, laut terbelah, burung puyuh, manna, bahkan suara mengguntur di atas Gunung Horeb.
Namun mengapakah bangsa Israel tegar tengkuk?
Hal menarik yang dapat kita saksikan adalah, pemberontakan bangsa Israel di padang gurun kepada Allah terjadi sebelum kitab Imamat ini ada.
Pemberontakan demi pemberontakan terjadi berulang kali. Misalkan saja membuat patung lembu emas, pemberontakan kaum Korah, dll.
Apakah ada kaitan antara penulisan kitab Imamat dan surutnya pemberontakan bani Israel?
Kitab Imamat (Ibrani: Wayiqqra, berarti: "Dia (YHWH) memanggil"). Dari sini judul kitab dan tema kitab ini adalah "Bagaimana Allah memanggil Israel sebagai umat dan anaknya."
Jadi adalah sebuah kesalahan memandang bahwa Imamat adalah kumpulan peraturan dan undang-undang yang menyangkut ritual dan keagamaan agama Yahudi.
Ketika dalam kitab Imamat, disaksikan bagaimana umat Allah harus membuat ini dan itu, serta melakukan ritual ini dan itu, sesuai tema kitab ini adalah "Dia (YHWH) memanggil," maka kita tidak dapat melandaskan kitab ini dalam artian hukum secara tertulis tanpa melihat tema dan latar belakangnya.
Dalam kitab Imamat ini kita harus melihat bagaimana orang Israel harus hidup dan berbuat sebagaimana yang Allah kehendaki, dengan demikian sebagai bangsa yang dikuduskan (dipisahkan), maka orang Israel tidak boleh hidup seperti kelakuan bangsa² lain yang tak kenal siapa Allah.
Dan dari sini, umat Allah ini benar² berbeda dengan bangsa² yang hidup dalam dosa. Sehingga mereka dapat menjadi pelita bagi bangsa² lain.
Sesuai janji Allah kepada Abraham, leluhurnya, bahwa: "Dan melalui keturunanmulah semua kaum di muka bumi akan terberkati."
Dalam kitab Imamat kita melihat bagaimana terdapat kemah suci, tabernakel, kaki dian, lampu minyak, mezbah ukupan dan mezbah korban bakaran, yang Allah sendiri perintahkan kepada mereka untuk dibuat. Dan setelah semua itu dibuat, maka kuasa ilahi menanungi kemah suci dan Allah berdiam (bersemayam atau ber-tabernakel) di sana.
Setelah Allah bersemayam dalam kemah suci, pemberontakan umat Israel berangsur-angsur surut. Walaupun bukan berarti tidak ada pemberontakan.
Kemah suci adalah bentuk Allah yang imanen kepada bangsa Israel. Atau dikatakan "Allah tampak" dalam hidup mereka sehari-hari, bukan Allah yang jauh dan menakutkan bagi mereka.
Walaupun Allah bertabernakel dalam kemah suci, bukan berarti kemah suci itu adalah Allah, sebab Allah tak dapat dibatasi oleh bangunan apapun buatan manusia.
Yang bersemayam di sana adalah Memra (Devar) Elohim. Sekalipun ada di tengah-tengah mereka, namun kekuasaan Allah tetap tak terpikirkan, tak terbayangkan dan tak terukur, maka di kemah suci ini, Allah menyatakan diri secara "paradoks" bahwa:
"Ia ada di sini, namun tak tersentuh, Ia jauh di sorga, namun pada saat yang sama ia ada di antara kita."
Di sini imanensi Allah nampak, tetapi transendensi dan kesucian Allah tetap terjaga.
Allah yang menyatakan diri kepada bangsa Israel dengan "perantara" Memra-Nya.
Jadi sejak awal, manusia merindukan Allah yang "imanen" (bersemayam) di antara manusia. Inilah kerinduan manusia yang diciptakan dalam fitrah Allah:
ingin selalu dekat dan berada bersama penciptanya.
Sekalipun Allah dalam kemahakuasaannya Ia "menakutkan" dan "mengerikan" namun di saat yang sama Ia adalah Allah yang "dekat" dan "lembut penuh kasih."
"Kemuliaan bagi Allah di tempat tinggi, damai di atas bumi kepada manusia yang berkenan. Amin."